Menikahi wanita yang telah berzina/dizinahi atau menikah dengan lelaki yang pernah berzina/menzinahi hukumnya sah, tetapi makruh selama belum bertaubat. Jika sudah bertaubat, maka pernikahan tersebut sah tanpa ada kemakruhan.
Dalil absahnya pernikahan dua orang yang telah berzina adalah ayat berikut;
{وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ } [النساء: 24]
Dan dihalalkan bagi kalian selain itu (semua yang telah disebutkan sebelumnya-An-Nisa;24)
Juga ayat;
{وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ} [النور: 32]
“Nikahkanlah wanita-wanita yang belum menikah dikalangan kalian dan orang-orang shalih dikalangan budak-budak lelaki dan budak-budak wanita kalian. An-Nur;32)
Untuk ayat yang pertama, sebelum ayat ini, Allah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi seperti haramnya menikahi ibu, saudari, putri, mertua dsb. Setelah itu Allah menutup dengan pernyataan; “Dan dihalalkan bagi kalian selain itu (semua yang telah disebutkan sebelumnya)”. Pernyataan tegas kehalalan wanita-wanita lain selain yang disebutkan dalam ayat bersifat umum, termasuk mencakup wanita yang pernah berzina. Karena itu sah hukumnya menikahi wanita yang pernah berzina.
Untuk ayat yang kedua, Lafadz الْأَيَامَى (wanita-wanita yang belum menikah) maknanya bersifat umum, yang mencakup wanita yang pernah berzina maupun yang tidak pernah berzina. Karena itu berdasarkan ayat ini juga, menikahi wanita yang berzina hukumnya sah.
Adapun pendapat yang mengharamkan pernikahan dengan wanita yang telah berzina dengan beralasan surat An-Nur yang berbunyi;
{الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ} [النور: 3]
Yang sering diterjemahkan;
laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (An-Nur;3)
maka ayat ini tidak bisa dijadkan sebagai dalil keharaman pernikahan dua orang yang telah berzina karena lafadz “يَنْكِحُ” pada ayat tersebut maknanya bukan Akad nikah tetapi bermakna bersetubuh. Karena itu terjemahan yang tepat terhadap ayat tersebut adalah;
Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh (dengan cara haram) melainkan dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang Musyrik; dan perempuan yang berzina tidak disetubuhi (dengan cara haram) melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki Musyrik, dan yang demikian (Zina) itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin
Memaknai lafadz يَنْكِحُ dengan makna bersetubuh (dengan cara yang haram/zina) dinyatakan dengan tegas oleh Ibnu Abbas dengan sanad Shahih dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir.
عن ابن عباس، رضي الله عنهما: { الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً } قال: ليس هذا بالنكاح، إنما هو الجماع، لا يزني بها إلا زانٍ أو مشرك .
“Dari Ibnu Abbas tentang ayat { الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً }beliau berkata; ini sama sekali bukan (Akad ) nikah tetapi (maknanya) adalah Jimak (bersetubuh). Tidak ada yang berzina dengan wanita berzina kecuali lelaki yang berzina atau orang Musyrik (yang tidak punya iman)”
Seandainya menikahi wanita yang pernah berzina haram/tidak sah maka setiap perselingkuhan oleh salah satu pasutri harus berakibat diceraikannya secara paksa mereka dari ikatan pernikahan. Konsekuensi ini sama dengan tidak sahnya pernikahan seorang Muslim dengan wanita Musyrik. Seandainya ada pasangan yang menikah dalam keadaan dua-duanya Muslim , lalu di tengah jalan istri menjadi Musyrik, maka pasangan tersebut wajib diceraikan secara paksa, karena menikah dengan wanita Musyrik hukumnya haram sehingga pernikahannya tidak sah.
Masalahnya, ada hadis yang menunjukkan bahwa perselingkuhan/perzinaan pasangan tidak membuat status pernikahan menjadi batal. Misalnya hadis berikut ini;
سنن أبى داود (5/ 430)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ امْرَأَتِي لَا تَمْنَعُ يَدَ لَامِسٍ قَالَ غَرِّبْهَا قَالَ أَخَافُ أَنْ تَتْبَعَهَا نَفْسِي قَالَ فَاسْتَمْتِعْ بِهَا
Dari Ibnu Abbas beliau berkata; seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lalu berkata; sesungguhnya istriku tidak menolak tangan lelaki yang menyentuhnya. Nabi bersabda; jauhkan (ceraikan) dia. Lelaki itu menjawab; aku khawatir diriku membuntutinya (tidak sanggup berpisah dengannya). Nabi bersabda; kalau begitu bersenang senanglah dengannya.(H.R.Abu Dawud)
Lafadz لَا تَمْنَعُ يَدَ لَامِسٍ (tidak menolak tangan lelaki yang menyentuhnya) menunjukkan wanita itu tidak menolak diajak berzina oleh lelaki lain. As-Syaukani dalam Nailul Author menegaskan bahwa lafadz لَا تَمْنَعُ يَدَ لَامِسٍ secara bahasa tidak bisa diingkari bahwa lafadz itu adalah kinayah berzina. Namun ternyata Rasulullah SAW tidak menceraikan pasangan tersebut, maka hadis ini menjadi petunjuk bahwa perzinaan tidak merusak Akad nikah.
Riwayat lain yang menguatkan;
سنن الترمذى (4/ 391)
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْأَحْوَصِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ فَذَكَرَ فِي الْحَدِيثِ قِصَّةً فَقَالَ أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
Dari Sulaiman bin ‘Amr bin Al-Ahwash beliau berkata; Ayahku memberitahu aku bahwa dia menyaksikan Haji Wada’ bersama Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW memuji Allah dan menyanjungNya. Beliau memberi peringatan dan memberi nasihat. Beliau bersabda; berpesanlah kebaikan terhadap wanita, karena mereka itu laksana tawanan bagi kalian, dan kalian tidak memiliki apapun dari mereka selain itu. Kecuali mereka melakukan perzinaan yang nyata. Jika mereka melakukannya, maka tinggalkan mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (H.R.At-Tirmidzi)
Hadis ini lebih lugas lagi menunjukkan bahwa perzinaan istri tidak membuat rusak Akad nikah, karena Rasulullah SAW tidak memerintahkan perceraian baik sukarela maupun terpaksa.
Karena itu surat An-Nur; 3 di atas tidak bermakna haramnya/tidak sahnya menikahi wanita yang pernah berzina, tapi hanya menunjukkan celaan keras terhadap aktivitas zina itu sendiri dan secara implisit menunjukkan dibencinya/makruhnya menikahi wanita yang telah berzina, meskipun menikahi mereka tetap sah hukumnya.
Demikian pula riwayat Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy yang berkeinginan menikahi pelacur Mekah yang menjadi Asbabun Nuzul dari ayat ini. Riwayat Martsad tidak menunjukkan haramnya menikahi wanita yang berzina tetapi hanya menunjukkan dibencinya menikahi mereka selama mereka belum meninggalkan perzinaannya.
Hukum ini berlaku bagi wanita yang telah berzina dan belum bertaubat. Menikahi mereka hukumnya sah, meski tidak disukai. Adapun jika mereka bertaubat, maka tidak ada masalah lagi karena menikahi mereka hukumnya sah tanpa kemakruhan sedikitpun. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berpendapat orang yang menikahi wanita yang telah dizinainya itu seperti orang mencuri anggur, lalu membelinya. Abubakar malah memandang bahwa menikahi wanita yang telah dizinai sebagai bentuk Taubat.
Namun keabsahan menikahi wanita yang telah berzina diikat syarat yaitu melakukan Istibro’. Istibro dalam hal ini adalah masa menunggu sebelum boleh melangsungkan Akad nikah. Istibro’ wanita yang hamil karena berzina dilakukan dengan durasi waktu sepanjang masa kehamilannya dan berakhir pada saat melahirkan. Artinya, wanita hamil karena perzinaan baru boleh melangsungkan Akad nikah yang syar’i setelah bayinya lahir. Jika saat hamil sudah melangsungkan Akad nikah maka Akadnya fasid (rusak) dan harus dibubarkan. Dalil yang menunjukkan wajibnya beristibro adalah hadis berikut;
سنن أبى داود – مكنز (6/ 376، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ وَرَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ فِى سَبَايَا أَوْطَاسٍ « لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً ».
Dari Abu Sa’id Al-Khudry dan beliau memarfu’kannya, bahwasanya beliau berkata; wanita (Sabaya yang) hamil tidak disetubuhi sampai dia melahirkan dan (wanita Sabaya) yang tidak hamil (tidak pula disetubuhi) sampai dia berhaid satu kali”(H.R.Abu Dawud)
Rasulullah SAW melarang mensetubuhi Sabaya hamil sampai melahirkan. Dalam kasus pernikahan, orang hanya bisa mensetubuhi jika telah melakukan Akad nikah yang syar’i. karena itu, hadis ini menunjukkan secara implisit dilarangnya melakukan Akad nikah, karena Akad nikah menjadi pintu masuk yang halal sebelum seseorang boleh menggauli seorang wanita.
Lebih lugas lagi ada riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memisahkan pasangan suami istri yang menikah setelah diketahui bahwa wanitanya sudah dalam keadaan hamil dulu sebelum menikah.
سنن أبى داود (6/ 31)
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَجُلًا يُقَالُ لَهُ بَصْرَةُ بْنُ أَكْثَمَ نَكَحَ امْرَأَةً فَذَكَرَ مَعْنَاهُ زَادَ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا
Dari Sa’id bin Musayyab bahwasanya seorang lelaki bernama Bashroh bin Aktam menikahi seorang wanita (yang telah hamil karena perzinaan)-lalu perawi menyebut lafadz yang semakna dengan lafadz sebelumnya dan menambah- dan beliau (Rasulullah SAW) memisahkan keduanya (dari ikatan pernikahan) H.R.Abu Dawud
Pemisahan paksa dari Rasulullah SAW menunjukkan bahwa Akad tersebut fasid (rusak). Jadi menikahi wanita yang hamil karena zina tidak boleh sebelum dia melahirkan anaknya, atau keguguran. Diserupakan pula kebolehannya jika janin tersebut keluar dengan cara abortus, meskipun aborsi sendiri adalah maksiat baru jika dilakukakan pada janin yang telah bernyawa.
Sejumlah Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memfatwakan kebolehan pernikahan seorang lelaki dengan wanita yang dizinahinya, bahkan terlibat langsung dalam proses menikahkan. Diriwayatkan bahwa Abubakar As-Shiddiq r.a. telah menikahkan seorang lelaki dengan gadis yang direnggut keperawanannya oleh lelaki tersebut. Al-Baihaqi meriwayatkan;
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (7/ 155)
عَنْ أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فِى رَجُلٍ بِكْرٍ افْتَضَّ امْرَأَةً وَاعْتَرَفَا فَجَلَدَهُمَا مِائَةً مِائَةً ثُمَّ زَوَّجَ أَحَدَهُمَا مِنَ الآخَرِ مَكَانَهُ وَنَفَاهُمَا سَنَةً.
“Dari Abu Bakar As-Shiddiq tentang seorang lelaki yang memecahkan keperawanan seorang wanita, kemudian mereka mengaku, maka Abubakar mencambuk keduanya masing-masing seratus kali, lalu menikahkan keduanya dan mengasingkan mereka selama satu tahun” (H.R.Baihaqi)
Diriwayatkan pula bahwa Umar r.a. memerintahkan menikahkan dengan normal seorang wanita yang telah berzina kemudian bertaubat dengan baik. Al-Baihaqi meriwayatkan;
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (7/ 155)
عَنِ الشَّعْبِىِّ : أَنَّ جَارِيَةً فَجَرَتْ فَأُقِيمَ عَلَيْهَا الْحَدُّ ثُمَّ إِنَّهُمْ أَقْبَلُوا مُهَاجِرِينَ فَتَابَتِ الْجَارِيَةُ وَحَسُنَتْ تَوْبَتُهَا وَحَالُهَا فَكَانَتْ تُخْطَبُ إِلَى عَمِّهَا فَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا حَتَّى يُخْبِرَ مَا كَانَ مِنْ أَمَرِهَا وَجَعَلَ يَكْرَهُ أَنْ يُفْشِىَ ذَلِكَ عَلَيْهَا فَذُكِرَ أَمْرُهَا لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ لَهُ : زَوِّجْهَا كَمَا تُزَوِّجُوا صَالِحِى فَتَيَاتِكُمْ
“Dari As-Sya’bi, bahwasanya ada seorang gadis yang berzina kemudian dihukum, lalu mereka (keluarganya) berpindah, lalu gadis itu bertaubat dan bagus taubatnya serta keadaannya. Lalu dia dipinang melalui pamannya, maka pamannya merasa tidak enak menikahkannya sebelum memberitahu reputasinya, namun juga tidak suka menyebarkan hal tersebut. Maka peristiwa itu dilaporkan kepada Umar bin Khattab, maka Umar berkata; Nikahkanlah gadis itu sebagaimana kalian menikahkan gadis-gadis Shalihah kalian” (H.R.Al-Baihaqi)
Malah, keinginan umar adalah wanita yang berzina hendaknya dinikahi oleh lelaki yang menzinahinya, meskipun tidak wajib/harus demikian. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (4/ 248)
عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ , عَنْ أَبِيهِ أَنَّ سِبَاعَ بْنَ ثَابِتٍ تَزَوَّجَ ابْنَةَ رَبَاحِ بْنِ وَهْبٍ وَلَهُ ابْنٌ مِنْ غَيْرِهَا وَلَهَا ابْنَةٌ مِنْ غَيْرِهِ فَفَجَرَ الْغُلاَمُ بِالْجَارِيَةِ فَظَهَرَ بِالْجَارِيَةِ حَمْلٌ فَرُفِعَا إلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَاعْتَرَفَا فَجَلَدَهُمَا وَحَرَص أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَهُمَا فَأَبَى الْغُلاَمُ.
“Dari Ubaidullah bin Abi Yazid dari ayahnya, bahwasanya Siba’ bin Tsabit menikahi putri Robah bin Wahb, dan dia punya putra yang didapat dari istri yang lain, sementara istrinya juga punya putri yag didapatkan dari suaminya terdahulu. Maka putranya berzina dengan putri istrinya, dan putri istrinya hamil. Maka keduanya dilaporkan kepada Umar bin Khattab dan keduanya mengaku. Maka umar mencambuk keduanya dan sangat ingin menikahkan mereka. Namun pihak lelaki menolak.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Ibnu Abbas juga memfatwakan dengan fatwa yang senada. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (4/ 248)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ أَصَابَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنَ الآخَرِ حَدًّا ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا ، قَالَ : لاَ بَأْسَ ، أَوَّلُهُ سِفَاحٌ وَآخِرُهُ نِكَاحٌ.
“Dari Ibnu Abbas tentang seorang lelaki dan wanita yang berzina lalu keduanya dihukum, kemudian pihak lelaki ingin menikahi wanita itu. Ibnu Abbas berfatwa; Tidak apa-apa. Awalnya Sifah (zina), endingnya Nikah (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
‘Ikrimah mengumpamakan pernikahan seorang lelaki dengan wanita yang dizinahinya seperti orang yang mencuri kurma, lalu setelah itu membelinya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (4/ 249)
عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ : لاَ بَأْسَ ، هُوَ بِمَنْزِلَةِ رَجُلٍ سَرَقَ نَخْلَةً ثُمَّ اشْتَرَاهَا.
“Dari ‘Ikrimah beliau berkata: “Tidak masalah, itu seperti seorang lelaki yang mencuri kurma kemudian membelinya” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Sejumlah Tabi’in besar seperti Sa’id bin Jubair, ‘Al-Qomah, dan Umar bin Abdul ‘Aziz juga berfatwa senada. Semuanya mendukung penjelasan hukum bahwa pernikahan lelaki dengan wanita yang dizinahinya adalah sah, bahkan bisa dikatakan termasuk cara taubat dari perzinahan tersebut.
Memang ada riwayat dari Ibnu Mas’ud, Aisyah, Jabir bin Zaid dan Al-Baro’ yang menunjukkan mereka berfatwa tidak bolehnya dua orang yang berzina menikah sebelum taubat, misalnya riwayat berikut;
المعجم الكبير للطبراني (8/ 283، بترقيم الشاملة آليا)
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَعَائِشَةَ، قَالا:”لا يَزَالانِ زَانِيَيْنِ مَا اجْتَمَعَا”.
Dari Ibnu Mas’ud dan ‘Aisyah mereka berkata: “mereka (dua orang yang berzina) masih terus berzina selama berkumpul (H.R.At.Thobaroni)
مصنف ابن أبي شيبة (4/ 251)
عَنِ الْبَرَاءِ فِي الرَّجُلِ يَفْجُرُ بِالْمَرْأَةِ ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا ، قَالَ : لاَ يَزَالاَنِ زَانِيَيْنِ أَبَدًا.
“Dari Al-Baro’ tentang seorang lelaki yang berzina denngan seorang wanita kemudian menikahinya beliau berkata; mereka terus berzina selamanya” (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Namun ini hanya berlaku jika mereka beluam bartaubat. Jika sudah bertaubat maka tida ada masalah lagi. Lagipula ucapan selain Al-Quran dan Hadis bukan dalil, sehingga tidak bisa menjadi dasar keharaman sesuatu. Imama As-Syafi’I mengkritik fatwa ini sebagaimana diriwayatkan Baihaqi;
معرفة السنن والآثار للبيهقي (11/ 319، بترقيم الشاملة آليا)
قال الشافعي : ولسنا ولا إياهم نقول بهذا ، هما آثمان حين زنيا ويصيبان الحلال حين تناكحا غير زانيين ، وقد قال عمر ، وابن عباس ، نحو هذا
As-Syafi’I berkata; kami dan mereka tidak berpendapat seperti ini (pendapat yang mengharamkan dua orang yang berzina menikah). (pendapat kami adalah) Mereka berdua berdosa saat berzina namun halal saat menikah dan bukan berzina lagi. Umar dan Ibnu Abbas berpendapat semakna dengan ini (H.R.Baihaqi).
Post a Comment
0 comments
Dear readers, after reading the Content please ask for advice and to provide constructive feedback Please Write Relevant Comment with Polite Language.Your comments inspired me to continue blogging. Your opinion much more valuable to me. Thank you.